Studi Tokoh Pendidikan Islam

TUGAS MAKALAH

STUDI TOKOH PENDIDIKAN ISLAM

“Ismail Raji Al-Faruqi, H.A. Mukti Ali, Syed Muhammad Naquib Al-Attas”

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Mid Semester VIII

Mata Kuliah Studi Tokoh Pendidikan Islam

Dosen Pengampu : Dra. Sriyatun, MSI.

Disusun oleh:

Kelompok VI

1. Muhtadin Abrori

2. Tahrun

3. Indra P

4. Ely Setiyo Asih

5. Salamah

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM BHAKTI NEGARA (STAIBN)

2009


PENGANTAR

Segala Puji hanya milik Alloh Rob pengatur alam semesta. Yang Maha Pengasih dari segala kasih Yang Maha Penyayang dari segala sayang. Yang Menguasai hari Pembalasan. Hanya pada-Mu lah kami menyembah dan hanya kepada-Mu lah kami memohon pertolongan. Ya Alloh tunjukilah kami ke jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan orang-orang yang sesat. Sholawat dan salam semoga terlimpah pada junjungan Nabi Muhammad shollallohu Alaihi Wa Sallaam, beserta keluarga, para sahabat, para tabiin, para tabiit tabiin dan semua yang mengikut jejak beliu. Ajmaiin.

Tulisan ini membahas tentang bagaimana konsep-konsep pendidikan yang dilontarkan oleh Tokoh-tokoh pendidikan Islam dan pada pembahasan kali ini penulis mengambil studi tokoh pendidikan Islam dari Ismail Raji Al-Faruqi, H.A. Mukti Ali, Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Harapannya setiap mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Bakti Negara memiliki kompetensi menganalisa konsep-konsep yang baik dalam melakukan proses pembelajaran dalam pendidikan.

Maka dengan segala ketulusan hati, penulis berbangga dapat menyelesaikan kelompok ini. Guna memenuhi Tugas Mid Semester VIII Mata Kuliah Studi Tokoh Pendidikan Islam dengan dosen pengampu Dra. Sriyatun, MSI. Progdi S1 Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Bakti Negara Slawi.

Tentunya di dalam tulisan ini masih banyak kekurangan, dan perlu perbaikan agar menjadikan lebih baik dan lebih sempurna. Harapan penulis akan saran dan kritik pembaca untuk menutupi kekurangan tersebut. Akhirnya kami mohon petunjuk kepada Allah agar kita diberi kebaikan dunia dan akhirat serta dijauhkan dari siksa keduanya. Amin.

Tegal, April 2009

Penulis


Ismail Raji Al-Faruqi

Biografi

Ismail Raji al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina pada tanggal 1 Januari 1921. Pada tahun 1926-1936 bersekolah di Colleges des Freres yang terletak di Libanon. Kemudian pada tahun 1941 lulus dari American University of Beirut. Lalu Ismail bekerja untuk pemerintah Inggris di Palestina. Pada tahun 1945, dia dipilih sebagai Gubernur Galilea. Tapi, setelah Israel mencaplok Palestina, ia pindah ke Amerika Serikat. Di Amerika, ia melanjutkan pendidikan Master dalam bidang filsafat di University of Indiana dan University of Harvard. Dia melanjutkan pendidikannya dengan mengambil gelar doktor filsafat di University of Indiana dan di Al-Azhar University pada tahun 1952.

Kemudian mengajar beberapa Universitas diseluruh dunia diantaranya universitas di Kanada, Pakistan dan Amerika Seirkat. Pada tahun 1968, menjadi guru besar Studi Islam di Temple University, Amerika Serikat. Sebagai anak Palestina, al-Faruqi mengecam keras apa yang telah dilakukan oleh Zionis Israel yang menjadi dalang pencaplokan Palestina. Namun, ia dengan tegas membedakan Zionisme dan Yahudi. Dalam buku Islam and Zionism, ia berkata bahwa Islam adalah agama yang menganggap agama Yahudi sebagai agama Tuhan, yang ditentang Islam adalah Politik Zionisme. Pembunuhan atas dirinya dan istrinya diduga karena kritiknya yang keras terhadap kaum Zionis Yahudi. Ismail Raji al-Faruqi meninggal dunia karena dibunuh pada tanggal 27 Mei 1986 di rumahnya.

Ide Pemikiran

Konsep Integrasi Antara Ilmu Pengetahuan (Umum) Dan Agama

Ilmuwan yang ikut membidani berbagai kajian tentang Islam di berbagai negara –Pakistan, India, Afrika Selatan, Malaysia, Mesir, Libya, dan Arab Saudi– ini sangat terkenal dengan konsep integrasi antara ilmu pengetahuan (umum) dan agama. Dalam keyakinan agama yang dianutnya, ia tidak melihat bahwa Islam mengenal dikotomi ilmu. Karena, menurutnya, Ilmu dalam Islam asalnya dan bersumber pada nash-nash dasarnya, yakni Alquran dan Hadis.

“Bukan seperti sekarang, saat dunia Barat maju dalam bidang ilmu pengetahuan, namun kemajuan itu kering dari ruh spiritualitas. Itu tak lain karena adanya pemisahan dan dikotomi antara ilmu pengetahuan dan agama,” kilahnya.

Gagasan-gagasan cerah dan teorinya untuk memperjuangkan proyek integrasi ilmu, yang ia kemas dalam bingkai besar ‘Islamisasi ilmu pengetahuan’, itu dituangkan dalam banyak tulisan, baik di majalah, media lainnya, dan juga buku. Lebih dari 20 buku, dalam berbagai bahasa, telah ditulisnya, dan tak kurang dari seratus artikel telah dipublikasikan. Di antara karyanya yang terpenting adalah: A Historical Atlas of the Religion of The World (Atlas Historis Agama Dunia), Trialogue of Abrahamic Faiths (Trilogi Agama-agama Abrahamis), The Cultural Atlas of Islam (Atlas Budaya Islam), Islam and Cultural (keduanya telah di Indonesiakan).

Gagasan ‘Islamisasi ilmu pengetahuan’ tak hanya ia perjuangkan dalam bentuk buku, namun juga dalam institusi pengkajian Islam dengan mendirikan IIIT pada 1980, di Amerika Serikat. Kini, lembaga bergengsi dan berkualitas itu memiliki banyak cabang di berbagai negara, termasuk di Indonesia dan Malaysia. Namun pemikirannya juga menimbulkan pro-kontra di kalangan ilmuwan Muslim dan Barat.

Hal demikian tak membuatnya larut dalam kritikan. Suara-suara sumbang itu malah ia kelola sedemikian rupa sehingga berpotensi menjadi stimulasi pengembangan pemikirannya tersebut. Tak cukup dengan IIIT saja, ia dirikan pula The Association of Muslim Social Scientist pada 1972. Kedua lembaga internasional yang didirikannya itu menerbitkan jurnal Amerika tentang Ilmu-ilmu Sosial Islam.

Paradigma Tauhid Dalam Pendidikan Dan Pengetahuan.

Berbagai kegiatan ini ia lakukan semata didorong oleh pandangannya bahwa ilmu pengetahuan dewasa ini benar-benar telah sekuler dan karenanya jauh dari tauhid. Maka, dirintislah teori dan ‘resep’ pengobatan agar kemajuan dan pengetahuan tidak berjalan kebablasan di luar jalur etik, lewat konsep Islamisasi ilmu dan paradigma tauhid dalam pendidikan dan pengetahuan.

Pan-Islamisme

Pemikirannya tentang Pan-Islamisme (Persatuan Negara-negara Islam) pun tak kalah penting. Seakan tak merasa risih dan pesimis, pemikiran Pan-Islamismenya terus didengungkannya di tengah berkembangnya negara-negara nasional di dunia Islam dewasa ini. Al Faruqi tak sependapat dengan berkembangnya nasionalisme yang membuat umat Islam terpecah-pecah.

Kekhalifahan Islam

Baginya, sistem khilafah (kekhalifahan Islam) adalah bentuk negara Islam yang paling sempurna. “Khilafah adalah prasyarat mutlak bagi tegaknya paradigma Islam di muka bumi. Khilafah merupakan induk dari lembaga-lembaga lain dalam masyarakat. Tanpa itu, lembaga-lembaga lain akan kehilangan dasar pijaknya,” tegasnya.

Dengan terbentuknya khilafah, jelasnya, keragaman tidak berarti akan lenyap. Dalam pandangannya, khilafah tetap bertanggung jawab melindungi keragaman. Bahkan, khilafah wajib melindungi pemeluk agama lain, seperti Kristen, Yahudi dan lain sebagainya. “Tak ada paksaan dalam Islam,” katanya. Menurutnya, negara-negara Islam yang ada saat ini akan menjadi provinsi-provinsi federal dari sebuah khilafah yang bersifat universal yang harus senantiasa diperjuangkan.

Ilmu Perbandingan Agama

Dalam bidang perbandingan agama, kontribusi pemikiran Al Faruqi tak kecil. Karyanya A Historical Atlas of Religion of the World, oleh banyak kalangan dipandang sebagai buku standar dalam bidang tersebut. Dalam karya-karyanya itulah, ia selalu memaparkan pemikiran ilmiahnya untuk mencapai saling pengertian antarumat beragama, dan pemahaman intelektual terhadap agama-agama lain. Baginya, ilmu perbandingan agama berguna untuk membersihkan semua bentuk prasangka dan salah pengertian untuk membangun persahabatan antara sesama manusia.

Karena itu pula, Al Faruqi berpendapat bahwa Islam tidak menentang Yahudi. Yang ditentang Islam adalah Zionisme. Antara keduanya (Yahudi dan Zionisme) terdapat perbedaan mendasar. Ketidakadilan dan kezaliman yang dilakukan Zionisme, menurutnya, begitu rumit, majemuk, dan amat krusial, sehingga praktis tidak terdapat cara untuk menghentikannya tanpa suatu kekerasan perang. Dalam hal ini, negara zionis harus dihancurkan. Sebagai jalan keluarnya, orang-orang Yahudi diberi hak bermukim di mana saja mereka kehendaki, sebagai warga negara bebas. Mereka harus diterima dengan baik di negara Muslim.

Lantaran pemikirannya inilah, kalangan Yahudi tidak senang dengannya. Nasib tragis pun menimpa diri dan keluarganya, ketika meletus serangan teroris di Eropa Barat, yang lalu merembet pada kerusuhan di AS pada 1986. Gerakan anti-Arab serta semua yang berbau Arab dan Islam begitu marak dipelopori beberapa kalangan tertentu yang lama memendam perasaan tak senang terhadap Islam dan warga Arab. Dalam serangan oleh kelompok tak dikenal itulah, Al Faruqi dan istrinya, Dr Lois Lamya, serta keluarganya tewas. Untuk mengenang jasa-jasa, usaha, dan karyanya, organisasi masyarakat Islam Amerika Utara (ISNA) mengabadikan dengan mendirikan The Ismail and Lamya Al Faruqi Memorial Fund, yang bermaksud melanjutkan cita-cita ‘Islamisasi ilmu pengetahuan’

Konsep Pendidikan

Dari Ide-ide pemikirannya diatas dapat diambil beberapa konsep pendidikan yang digulirkan oleh Ismail Raji al-Faruqi, antara lain :

Pertama Tauhid sebagai paradigma peradaban, menurutnya tauhid merupakan prinsip pertama yang mengandung etika, eksiologi, social, dan estetika. Ia adalah esensi Islam yang memberikan identitas pada peradaban Islam dan yang mengikat pada semua unsur sehingga menjadi satu kesatuan yang integral dan organis kemudian membentuk cetakan tersendiri.

Kedua Islamisasi Pengetahuan, Menurutnya Umat Islam mengalami krisis mentalitas dikarenakan mereka berkenalan dengan peradaban barat dengan menghilangkan pijakan kokoh yang bersumber dari moral agama. Sasaran dari Islamisasi pengetahuan adalah : Penguasaan Disiplin Ilmu Modern, Penguasaan Khasanah Islam, Penentuan Relevansi Islam bagi masing-masing bidang ilmu modern, Pencarian sintesa kreatif antara khasanah Islam dengan ilmu Modern, dan Pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Alloh.

Dua belas langkah yang harus ditempuh untuk mencapai Islamisasi Pengetahuan, yaitu : Menguasai disiplin Ilmu modern, Survei disiplin ilmu, menguasai khasanah Islam, Menguasai Khasanah Ilmiah Islam, Menentukan relevansi Islam dengan disiplin ilmu, Penilaian Kritis terhadap disiplin Ilmu Modern, Penilaian kritis terhadap khasanah Islam, Survei permasalahan yang dihadapi Umat Islam, Survei permasalahan yang dihadapi Umat Manusia, menganalisa secara kreatif dan sintesa, penuangan ke dalam disiplin ilmu modern dengan kerangka Islam, serta menyebarkan ilmu.


H.A. Mukti Ali

Biografi

Nama lengkapnya Prof Dr H Abdul Mukti Ali dilahirkan di kota Cepu, pada tanggal 23 Agustus 1923 dan Meninggal di kota Yogyakarta, pada tanggal 5 Mei 2004 (tepatnya berumur 81 thn) dengan meninggalkan seorang Istri bernama Siti Asmadah dan tiga orang anak.

Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali (lahir di Cepu, 23 Agustus 1923) adalah mantan Menteri Agama Kabinet Pembangunan II periode 1973-1978. Sejak berumur delapan tahun, Mukti menjalani pendidikan Belanda di HIS. Ketika berumur 17 tahun, ia melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Termas, Kediri, Jawa Timur. Mukti Ali kemudian melanjutkan studi ke India setelah perang dunia ke dua. Ia menyelesaikan pendidikan Islam di India dengan memperoleh gelar doktor sekitar tahun 1952. Setelah itu, ia melanjutkan kembali studinya ke McGill University, Montreal, Kanada mengambil gelar MA.

Semasa hidupnya, Mukti Ali telah menulis beberapa buku seperti : Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, Muslim Bilali dan Muslim Muhajir di Amerika, Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dahlan, Muhammad Iqbal, Ta'limul Muta'alim versi Imam Zarkasyi, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, Asal Usul Agama, dan Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan.

Abdul Mukti Ali meninggal dunia dalam usia 81 tahun pada tanggal 5 Mei 2004, sekitar pukul 17.30 di Rumah Sakit Umum Dr. Sardjito, Yogyakarta. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman keluarga besar Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga di Desa Kadisoko, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman.

Ide Pemikiran

Pertama Problematika kerukunan umat beragama dapat dinilai sebagai transformasi religia intelektual dalam menemukan jawaban atas pergulatan pribadi mengenai interaksi antar umat beragama di Indonesia. Maka menurutnya betapa pentingnya mempelajari Ilmu Perbandingan Agama, dan muncullah hal ini dalam kebijakan mentri agama tentang “Dialog Antar Umat Beragama”.

Kedua, Peningkatan mutu pendidikan Agama, diantaranya dengan mendirikan Lembaga Pendidikan Tilawatil Qur’an atau sering disebut LPTQ baik di tingkat daerah maupun pusat.

Ketiga, Memperbaiki dan menertibkan prosedur administrasi, organisasi, termasuk personil yang ada dalam Departemen Agama.

Keempat, Membentuk wadah persatuan Ulama’ Indonesia dengan nama MUI

Konsep Pendidikan

Secara umum, Mukti Ali menyoroti masalah etika, akhlaq atau moral lebih pada bagaimana ia dapat diakses dan diterapkan oleh golongan pelajar yang terbagi dua yaitu, golongan intelektual atau cendekiawan dan kaum praxis. Menurutnya kaum cendekiawan dengan kemampuan intelektualnya harus memiliki nilai-nilai moral dalam setiap ranah intelektual pengetahuannya. Ide-ide, konsep-konsepnya harus bias lebih mendorong mereka untuk perbaikan-perbaikan, penyempurnaan-penyempurnaan dari sebuah keadaan yang sekarang dialami. Hal ini bukan berarti keadaan sekarang tidak lebih baik, tetapi bagaimana kegelisahan para cendekiawan tersebut dapat memberi sumbangan berarti terhadap keadaan moral masyarakat ke arah yang lebih baik. Untuk itu, menurut Mukti Ali, salah satu syarat seorang cendekiawan terutama cendekiawan muslim adalah bahwa ia harus memiliki kecakapan untuk melahirkan pikiran-pikiran tentang moral dalam kata-kata, baik lisan maupun tulisan.

Sedangkan kepada golongan praxis, yang lebih dituntut adalah bagaimana ia dapat menerapkan praktek moral dalam kehidupan sehari-hari, yang sangat berkaitan dengan hal-hal yang kongkrit. Lebih jauh tugasnya adalah melakukan tindakan-tindakan untuk mengatasi persoalan-persoalan empirik.

Sampai di sini, menurut hemat penulis, sebenarnya perbedaan antara kaum intelektualis dan kaum praxis ini hanyalah memiliki fungsi untuk memisahkan bidang garap masing-masing kaum itu sendiri, tidak lebih pada bagaimana keduanya sama-sama memiliki peran yang signifikan dalam proses kehidupan bermoral di masyarakat.

Atau lebih jelasnya pemisahan itu untuk memberikan batasan-batasan peran masing-masing dalam memberikan sumbangan manfaat ke dalam kehidupan berinteraksi sosial. Untuk itu maka perbedaan tersebut mungkin lebih dikenal sebagai perbedaan dialektis daripada perbedaan dikotomis.

Perbedaan dialektis yang dimaksud adalah bahwa titik temu kedua terminology tersebut adalah bahwa kaum intelektualis dengan kritik sosial dan ide-ide moralnya dapat mampu menyumbangkan hal yang bermafaat dalam tataran praxis. Dan bahwa Kaum praxis dengan sendirinya akan memberikan sumbangan berharga bagi pengamatan-pengamatan yang dilakukan oleh kaum intelektualis.

Kemudian keluar dari permasalahan tersebut, seperti pendapat para cendekiawan muslim lainnya, Mukti Ali tidak menafikan akan adanya hubungan ‘organik’ antara pendidikan agama dan moral. Bahwa sistem agama, yang berupa oerientasi nilai, keyakinan, norma hukum, juga mempunyai saham yang tidak kecil dalam membentuk watak dan tingkah laku seseorang.

Lebih jauh menurutnya fungsi pokok agama adalah mengintegrasikan hidup. Bahwa agama dengan nilai-nilai moralnya amat diperlukan dalam kehidupan manusia. Contoh kecil dari hubungan agama dan moral ini dapat dilihat dari fenomena dewasa ini tentang kekhawatiran masyarakat terhadap perubahan-perubahan sosial yang merugikan akhlak atau moral di kalangan penduduk kota-kota besar. Dalam hal ini nilai-nilai moral dalam agama dirasa penting untuk diterapkan.

Dalam Islam, al-Qur’an misalnya menginginkan untuk menegakkan kehidupan masyarakat yang egaliter, baik sosial,politik dan sebagainya yang ditegakkan pada dasar-dasar etika. Hal tersebut dapat dilihat dari ayat-ayat yang menyiratkan tentang “memakmurkan bumi” atau “menjauhi kerusakan di dunia”. Juga dapat dilihat dari ayat tentang tugas manusia yang dinyatakan dengan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Sampai di sini semakin jelalah akan adanya hubungan yang tak teroisakan antara nilai-nilai agama yang diinternalisakan kepada manusia dengan pendidikan agama dengan pendidikan moral.


Syed Muhammad Naquib Al-Attas

Biografi

Syed Muhammad al Naquib bin Ali bin Abdullah bin Muhsin al Attas dilahirkan di kota Bogor pada tanggal 5 September 1931, Ia adik kandung dari Prof. DR. Hussein Al-Attas, seorang ilmuwan dan pakar sosiologi di Univeritas Malaya, Kuala Lumpur Malaysia. Ayahnya bernama Syed Ali bin Abdullah AL-Attas, sedangkan ibunya bernama Syarifah Raguan Al-Idrus, keturunan kerabat raja-raja Sunda Sukapura, Jawa Barat. Ayahnya berasal dari Arab yang silsilahnya merupakan keturunan ulama dan ahli tasawuf yangterkenal dari kalangan sayid.

Riwayat pendidikan Prof. DR. Syed Muhammad Naquib Al-Attas (selanjutnya akan disebut Al-Attas), sejak ia masih kecil berusia 5 tahun. Ketika ia berada di Johor Baru, tinggal bersama dan di bawah didikan saudara ayahnya Encik Ahmad, kemudian dengan Ibu Azizah hingga perang kedua meletus. Pada tahun 1936-1941, ia belajar di Ngee Neng English Premary Schoool di Johor Baru. Pada zaman Jepang ia kembali ke Jawa Barat selama 4 tahun. Ia belajar agama dan bahasa Arab Di Madrasah Al-Urwatul Wutsqa di Sukabumi Jawa Barat Pada tahun 1942-1945. Tahun 1946 ia kemabali lagi ke Johor Baru dan tinggal bersama saudara ayahnya Engku Abdul Aziz (menteri besar Johor Kala itu), lalu dengan Datuk Onn yang kemudian juga menjadi menteri besar Johor (ia merupakan ketua umum UMNO pertama). Pada tahun 1946, Al-Attas melanjutkan pelajaran di Bukit Zahrah School dan seterusnya di English College Johor Baru tahun 1946-1949. Kemudian masuk tentara (1952-1955) hingga pangkat Letnan. Namun karena kurang berminat akhirnya keluar dan melanjutkan kuliah di University Malaya tahun 1957-1959, lalu melanjutkan di Mc Gill University, Montreal, Kanada, dan mendapat gelar M. A. Tidak lama kemudian melanjutkan lagi pada program pascasarjana di University of London tahun 1963-1964 hingga mendapat gelar Ph. D. In 1987.

Al-Attas mendirikan sebuah institusi pendidikan tinggi bernama International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Kuala Lumpur. Melalui institusi ini Al-Attas bersama sejumlah kolega dan mahasiswanya melakukan kajian dan penelitian mengenai Pemikiran dan Peradaban Islam, serta memberikan respons yang kritis terhadap Peradaban Barat.

Ide Pemikiran

Al-Atas menawarkan kepada kita hal-hal untuk memagari intervensi dan pengaruh pedidikan barat yang tidak relevan dengan pendidikan agama Islam, antara lain:

Pertama, Konsep Ta’dib – menurutnya pendidikan lebih cocok menggunakan Ta’dib dari pada Tarbiyah karena pendidikan dalam pengertian Islam meliputi gagasan pendidikan dan segala yang terlibat dalam proses pendidikannya. Pendidikan secara bertahap ditanamkan kedalam manusia yang mempunyai akal. Maka ta’dib merupakan suatu upaya peresapan dan penanaman pada diri manusia dalam proses pendidikan sedangkan adab sendiri merupakan suatu muatan atau kandungan yang mesti ditanamkan dalam pendidikan Islam. Adab melibatkan disiplin pikiran dan jiwa menunjuk kebenaran dan melawan yang salah. Sedangkan tarbiyah berarti menghasilkan, mengembangkan dari kepribadian yang tersembunyi dan mengembangkan kepada segala sesuatu yang bersifat fisik dan material.

Kedua, Universalitas. Menurutnya konsep pendidikan dalam Islam adalah berusaha mewujudkan manusia yang baik atau manusia universal yang sesuai dengan fungsi diciptakannya manusia yakni sebagai hamba Alloh dan kholifah dimuka bumi. Dan Bukan menciptakan Negara yang baik.

Ketiga, Universitas, dalam rangka mewujudkan insane Kamil maka ciri system pendidikan mencerminkan aspek manusia itu sendiri, dan bukan Negara. Universitas Islam yang dimaksud mampu mencerminkan pribadi Nabi sebagai Rosul baik dalam hal ilmu maupun tindakan sehingga dapat menjadi manusia itu sendiri beradab.

Keempat, Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Suatu alternative agar pendidikan yang dilakukan umat islam saat ini mampu memagari konsep-konsep barat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Dengan ditunjukkan mampu menjawaab persoalan agama dan sekuler yang setidaknya mempersempit dikotomi keduanya.

Kelima, Kurikulum. Kurikulum Ilmu Agama mutlak diadakan pada seluruh tingkat pendidikan. Karena agama mampu membimbing dan menyelamatkan manusia di dunia dan di akhirat.

Konsep Pendidikan

Apabila ditelaah dengan cermat, format pemikiran pendidikan yang ditawarkan oleh Al-Attas, tampak jelas bahwa dia berusaha menampilkan wajah pendidikan Islam sebagai suatu sistem pendidikan terpadu.

Hal tersebut dapat dilihat dari tujuan pendidikan yang dirumuskannya, yakni tujuan pendidikan yang dirumuskannya, yakni tujuan pendidikan dalam Islam harus mewujudkan manusia yang baik, yaitu manusia universal (Al-Insan Al-Kamil). Insan kamil yang dimaksud adalah manusia yang bercirikan:

Pertama; manusia yang seimbang, memiliki keterpaduan dua dimensi kepribadian; a) dimensi isoterikvertikal yang intinya tunduk dan patuh kepada Allah dan b) dimensi eksoterik, dialektikal, horisontal, membawa misi keselamatan bagi lingkungan sosial alamnya.

Kedua; manusia seimbang dalam kualitas pikir, zikir dan amalnya (achmadi, 1992: 130). Maka untuk menghasilkan manusia seimbang bercirikan tersebut merupakan suatu keniscayaan adanya upaya maksimal dalam mengkondisikan lebih dulu paradigma pendidikan yang terpadu.

Indikasi lain yang mempertegas bahwa paradigma pendidikan yang ditawarkan Al-Attas menghendaki terealisirnya sistem pendidikan terpadu ialah tertuang dalam rumusan sistem pendidikan yang diformulasikannya, dimana tampak sangat jelas upaya Al-Attas untuk mengintegrasikan ilmu dalam sistem pendidikan Islam, artinya Islam harus menghadirkan dan mengajarkan dalam proses pendidikannya tidak hanya ilmu-ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu rasional, intelek dan filosofis.

Dari deskripsi di atas, dapat dilacak bahwa secara makro orientasi pendidikan Al-Attas adalah mengarah pada pendidikan yang bercorak moral religius yang tetap menjaga prinsip keseimbangan dan keterepaduan sistem. Hal tersebut terlihat dalam konsepsinya tentang Ta'dib (adab) yang menurutnya telah mencakup konsep ilmu dan amal. Di situ dipaparkan bahwa setelah manusia dikenalkan akan posisinya dalam tatanan kosmik lewat proses pendidikan, ia diharapakan dapat mengamalkan ilmunya dengan baik di masyarakat berdasarkan adab, etika dan ajaran agama. Dengan bahasa yang berbeda dapat dikatakan bahwa penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dilandasi pertimbangan nilai-nilai dan ajaran agama.

Hal itu merupakan indikator bahwa pada dasarnya paradigma pendidikan yang ditawarkan Al-Attas lebih mengacu kepada aspek moral-transendental (afektif) meskipun juga tidak mengabaikan aspek kognitif (sensual–logis) dan psikomotorik (sensual-empiris). Hal ini relevan dengan aspirasi pendidikan Islami, yakni aspirasi yang bernafaskan moral dan agama. Karena dalam taksonomi pendidikan Islami, dikenal adanya aspek transendental, yaitu domain iman disamping tiga domain kognitif, afektif dan psikomotorik yang dikembangkan B.S.Bloom dkk. (Muhaimin, 1991 : 1971: 72-73). Domain iman amat diperlukan dalam pendidikan Islami, karena ajaran Islam tidak hanya menyangkut hal-hal rasional, tetapi juga menyangkut hal-hal yang supra rasional, dimana akal manusia tidak akan mampu menangkapnya, kecuali didasari dengan iman, yang bersumber dari wahyu, yaitu Al-Qur'an dan Al-Hadist. Domain iman merupakan titik sentral yang hendak menentukan sikap dan nilai hidup peserta didik, dan dengannya pula menentukan nilai yang dimiliki dan amal yang dilakukan.

Kesimpulan

Dari ketiga tokoh pendidikan dalam makalah ini, penulis menyimpulkan konsep-konsep pendidikan yang dapat dijadikan bahan renungan bagi calon-calon sarjana pendidikan Islam. Diantaranya :

Pertama, Pendidikan berlandaskan Agama dan Ilmu Pengetahuan. Dengan keduanya terbentengi pengaruh barat dan arus westernisasi pengetahuan dan bahkan agama.

Kedua, Peningkatan mutu pendidikan khususnya Agama Islam patut ditingkatkan terus dan dikembangkan karena Al Quran dan As Sunnah sesuai dengan perkembangan Zaman dia bersifat universal. Segalanya bermuara pada kedua kitab tersebut.

Ketiga, Tauhid jalan untuk membentengi ilmu pengetahuan yang tidak sesuai dengan kaidah agama Islam. Maka pertama yang perlu diajarkan pada manusia adalah tauhid.

Keempat, Umat Islam harus menjadi umat yang berkualitas dari segala segi, mulai dari pegamalan ajaran agama dalam bentuk etika, estetika, moral dan keilmuannya hingga mencapai kemodernian pengetahuan.

Penutup

Demikianlah makalah yang dapat kami buat, besar harapan dapat menjadi manfaat bagi penulis khusunya dan para pembaca. Kritik dan saran sangatlah diharapkan untuk mencapai kesempurnaan tulisan ini. Wa Allohu a’lam bi Showab.


Daftar Pustaka

http://www.etd.eprints.ums.ac.id/953/1/H000040019.pdf

http://id.wikipedia.org/wiki/Ismail_Raji_Al-Faruqi

Rahimah, Hj. Dra. MA.g, Makalah Pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi yang disampaikan pada Fakultas Bahasa Arab Universitas Sumatera Utara, http://digilib.usu.ac.id/download/ fs/arab-rahimah.pdf

www.ghabo.com/gpedia/index.php/Prof._Dr._H._Abdul_Mukti_Ali - 10k -

Habiburrohman Khoirul Khoirul, Makalah Menelusuri Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, http://portal.idiaprenduan.com/wp-content/uploads/2009/04/khoirul-umam.pdf.

Yayat Hidayat. S.PdI. Pemikiran Pendidikan Menurut S.M. Naquib al-Attas http://belajarislam.com/index.php?option=com_content&view article&id=338: pemikiran-pendidikan-menurut-sm-naquib-al-attas&catid=70:sains&Itemid=118

Sugeng Sholehudin, M., Studi Tokoh Pendidikan Islam, IAIN Walisongo, Semarang.

Comments